NAMA : BAGUS WASKITO UTOMO
NIM : D01212006
TUGAS : UAS FIQH
PERNIKAHAN USIA DINI
PANDANGAN ISLAM
Syaikh bin Baz menyatakan:
“Usia pernikahan tidak dibatasi dengan ukuran umur tertentu, baik ukuran ukuran
umur usia tua (batas umur maksiamal tua) maupun muda (batas minimal umur usia
muda). Hal ini berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran dan As-Sunnah
menganjurkan pernikahan tanpa mengkaitkan dengan batasan umur tertentu,
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
قال الله تعالى : وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي
النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي
الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاتِي لا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ
وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
Dalam ayat di atas terdapat
pembolehan untuk menikahi anak (peremupan) yatim yang belum mencapai usia
baligh. Dan usia maksimal seseorang termasuk yatim adalah 15 tahun menurut
pendapat yang paling tepat (rajih) atau kurang dari itu tanpa batasan usia
tertentu.
Hal ini diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW:
“تستأذن اليتيمة في نفسها فإن
سكتت فهو إذنها وإن أبت فلا جواز عليها”
Dalam praktenya Nabi menikahi A’isyah pada umurnya 6 atau 7
tahun dan berumah tangga dengannya pada umur 9 tahun. Demikian hukum syariat
tersebut berlaku dalam umat Islam sebagaimana para shahabat yang mereka menikah
pada usia dini dan usia tua tanpa batasan umur tertentu.
Tidak seorangpun yang diperkenankan membuat syari’at baru di
luar syariat Allah dan Rasul-Nya dan merubah Syariat Allah dan Rasul-Nya.
Karena syariat tersebut telah mencukupi. Barang siapa berpendapat selain itu,
maka dia telah mendholimi dirinya sendiri dan telah membuat syariat bagi
manusia dengan hal yang tidak diijinkan/perkenankan oleh Allah SWT. Allah SWT
telah mencela jenis manusia seperti mereka dalam firman-NYa:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ
يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu (tandingan) yang membuat
syariat bagi mereka tentang agama tanpa ijin Allah” (QS. Asy-Syura: 21)
Nabi SAW bersabda:
وقال صلى الله عليه وسلم : ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس
منه فهو رد ” متفق عليه . وفي رواية مسلم : ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا
فهو رد ” وعلقه البخاري في الصحيح
جازما به .
Saya ingatkan orang-orang yang menegakkan aturan yang
bertentangan dengan syariat tersebut dengan firman Allah Ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
1. Perkawinan harus dilihat
secara integral dan holistik. Bukan hanya aspek legalitas formal yang bersifat
normatif yaitu sah dan tidaknya suatu perkawinan, namun harus melihat hakekat
dan tujuan dari suatu perkawinan. Di antara tujuan pernikahan yang diterangkan
dalam Al-Quran adalah (artinya) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih sayang …” (Q.S.30:21). Berdasarkan ayat ini jelas bahwa Islam
menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui
akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami
istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak
merasa damai dalam rumah tangganya. Ada tiga kata kunci yang disampaikan
oleh Allah dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang
ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan
rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah
suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing
pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan
saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa
saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab
kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa
dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah,
yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai
pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka.
2. Pernikahan adalah suatu
bentuk ibadah yang disakralkan dalam Islam. Pernikahan bukan hanya sekedar
legalisasi hubungan seksual semata. Pernikahan bukanlah perampasan hak anak.
Pernikahan adalah perpindahan perwalian dari seorang ayah kepada seorang suami.
Ayah menyerahkan tanggung jawab mengasihi, menafkahi, melindungi, mendidik, dan
memenuhi semua hak anak perempuannya kepada laki-laki yang ia percayai mampu
memikul tanggung jawab tersebut. Islam membolehkan menikahkan anak yang sudah
baligh atau belum baligh tapi sudah tamyiz (sudah bisa menyatakan
keinginannya). Seorang anak yang memasuki pernikahan sesuai dengan syariat
Islam tetap terpenuhi hak-haknya. Anak yang belum baligh belum dituntut tapi
dipersiapkan untuk mampu melaksanakan semua kewajibannya sebagai seorang istri.
Sementara yang sudah baligh mendapatkan hak sekaligus sudah harus melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang istri.
3. Pembatasan usia minimal
pernikahan dapat berdampak negatif (mudhorot) karena dapat menghambat keinginan
para pemuda yang sudah dewasa secara intelektual, emosional, dan finansial
namun belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan. Hal tersebut juga
menyebabkan meningkatnya tindakan maksiat dalam hubungan lawan jenis dan
hubungan seksual di luar nikah, dll.
4. Perlu diketahui bahwa
pernyataan para ulama tentang bolehnya menikahi gadis belia tidak berarti boleh
menggaulinya dalam hubungan suami-istri (hubungan seksual), bahkan tidak boleh
dgauli sampai dia cukup mampu melakukannya. Oleh karena itu, Nabi SAW menunda
menggauli Istrinya Aisyah ra. DR. Abdullah al-Faqih dalam fatwanya no.11251 di
islamweb.com juga menegaskan bahwa suami hendaknya tidak melakukan jima’ dengan
istrinya jika istrinya belum siap untuk itu atau jika hal tersebut menimbulkan
mudhorat bagi istrinya.
5. Pembolehan bagi seorang
bapak kandung (wali) untuk menikahkan anak gadisnya yang masih kecil berkaitan
dengan ada-tidaknya maslahat dan hikmah dari pernikahan tersebut. Kemaslahatan
dimaksud adalah kemaslahatan bagi anak gadis tersebut, bukan kemaslahatan orang
lain termasuk wali sendiri yaitu berupa tercapai tujuan-tujuan pernikahan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ’Atiyah Shoqr, pemberian wewenang menikahkan
tersebut kepada wali karena pada umumnya sebagai orang tua yang diberi amanah
pengasuhan anak, mereka pasti menghendaki kebaikan bagi anaknya. Sebagaimana
hal tersebut dilakukan oleh Abubakar as-Shiddiq ra yang menikahkan putrinya
dengan Rasulullah SAW. Oleh karena itu orang tua/wali perlu menilai dengan
bijaksana pasangan/calon suami bagi anaknya.
6. Perlu diketahuida’iyah,
muballighoh, dan murabbiyah yang membantu kesuksesan dakwah dan
penyampaian risalah. Aisyah ra memiliki kecerdasan yang tinggi dan umur beliau
yang masih muda adalah masa yang tepat untuk belajar karena hafalan lebih kokoh
dan kemampuan merekam pelajaran lebih mantap. Di samping sebagai pendamping
hidup Rasulullah, Aisyah adalah murid spesial dalam madrasah kenabian.
Nabi mengajarkan Aisyah secara khusus berbagai permasalahan agama terutama
berkaitan dengan urusan privat rumah tangga dan fiqih kewanitaan. Peran Aisyah
kemudian adalah menjadi juru bicara Nabi (da’iyah) yang menjelaskan hal
tersebut kepada shahabat pada umumnya dan pada shohabiyah khususnya serta para
tabi’in (generasi setelah shahabat) yang belajar kepada beliau. Sejarah
membuktikan peran dan kontribusi Aisyah ra dalam mewariskan sunnah Rasulullah dengan
meriwayatkan hadis sebanyak 2210. (2) Memperkuat hubungan kekerabatan dan
kedekatan keluarga antara beliau SAW dengan shahabat beliau yang paling utama
yaitu Abu Bakar as-Shiddiq ra.
7. Lebih utama (mustahab) bagi
seorang wali untuk tidak menikahkan anak gadisnya yang masih kecil kecuali jika
terdapat maslahat dari pernikahan tersebut. Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah
bahwa Imam Syafi’I dan imam-imam pengikut madzhab Syafi’I berpendapat bahwa
dianjurkan bagi seorang Bapak atau Kakek untuk tidak menikahkan seorang gadis
sampai dia baligh dan meminta ijin/kesediaannya agar gadis tersebut tidak
terperangkap dalam “penjara pernikahan” yang tidak disukainya. Hal ini tidaklah
bertentangan dengan hadis ‘Aisyah, karena maksud dari pendapat para Imam
tersebut adalah tidak menikahkan gadis sebelum baligh jika tidak terdapat
maslahat yang jelas/pasti yang dikhawatirkan akan hilang jika dilambatkan,
sebagaimana yang terjadi pada pernikahan ’Aisyah ra. Jika ada maslahat yang
bisa dihasilkan, maka pernikahan dianjurkan karena seorang bapak diperintahkan
untuk memperhatikan maslahat anaknya dan tidak melalaikan/membiarkannya hilang.
Wallahu A’lam.
8. Jika menimbulkan
kemudhoratan, maka hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil
yang melarang melakukan sesuatu yang menimbulkan kemudharatan baik bagi diri
sendiri maupun orang lain, di antaranya : la dhorara wala dhirara. Atau
jika mudhorot yang akan terjadi diperkirakan lebih besar maka juga menjadikan
pernikahan tersebut terlarang sesuai kaidah : daf’ul mafasid muqaddamun ‘ala
jalb al-Masholih. Syaikh Walid bin Ali al-Husain bahkan menganggap
pernikahan anak gadis oleh orang tuanya dengan tujuan mendapatkan imbalan harta
dari orang yang akan dinikahkan dengannya, tanpa memperhatikan kemaslahatan
anaknya, maka pernikahannya tidak sah.
9. Bila anak telah baligh,
perlu minta ijin/persetujuan anak tersebut, berdasarkan hadis:
( وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { الثَّيِّبُ أَحَقُّ
بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا ،
وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا } رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا
الْبُخَارِيَّ
Dari Ibnu Abbas ra, belia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Seorang janda lebih berhak untuk mengatur dirinya (dalam mengambil
keputusan menikah) daripada walinya. Seorang anak gadis dimintai
ijin/persetujuannya mengenai dirinya. Dan tanda ijin darinya adalah diamnya”
(HR. al-jama’ah dari mukharrij hadis kecuali Imam Bukhari)
HUKUM POSITIF INDONESIA
Dalam masalah batas umur untuk kawin di Indonesia Pasal 7
ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan
hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Kemudian dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan, bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur ditetapkan dalam
Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan.s
Pembatasan usia minimal melangsungkan perkawinan ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kawin dibawah umur. Selain itu juga
dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan perkawinan mempunyai
hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata batas usia yang lebih
rendah bagi seorang perempuan untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih tinggi.
Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan secara tegas,”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”(Pasal 1) dan pada pasal
26 ayat 1 poin c disebutkan, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah
terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Secara jelas undang-undang ini
mengatakan, tidak seharusnya pernikahan dilakukan terhadap mereka yang usianya
masih di bawah 18 tahun.
PANDANGAN SAYA
Biasanya, pernikahan usia dini
dilaksanakan karena faktor agama. Banyak masyarakat pedesaan yang menilai dari pada
anaknya bertingkah macam-macam, lebih baik dinikahkan saja. Dalam Islam
sendiri, salah satu syarat menikah adalah jika sudah berusia baligh, yaitu jika
laki-laki sudah mengalami mimpi tanda dewasa, dan pihak perempuan sudah
mengalami menstruasi pertama.
Menurut saya, menikah mudah sah –
sah saja, karena Agama pun tidak
menganjurkan pernikahan berdasarkan praduga akan nasib seseorang kelak. Alasan
pernikahan dalam agama sendiri sudah jelas, yakni menghindarkan dari praktek
perzinahan, meneruskan keturunan, menebar cinta kasih, dan mempertahankan
pernikahan itu sendiri sehingga membuat kondisi pernikahan menjadi harmonis dan
penuh kasih sayang
Walau secara harfiah, mereka berdua
sudah dinilai dewasa dalam Islam karena
sudah berhak mendapat pahala dan dosa. Sementara tujuan pernikahan dalam Islam
sendiri adalah menghindarkan diri dari
praktek perzinahan (seperti yang diatas saya sebutkan). Tentu menikah diusia muda pun
dalam kacamata agama, tidak menjadi masalah. (Dalam
pengertian boleh tapi tidak di anjurkan).
WaAllahu A’lam…
Tetapi, pernikahan usia dini yang sering muncul dalam masyarakat akhir akhir ini
adalah pernikahan karena 'kecelakaan'. Misalnya, pihak perempuan hamil diluar
nikah dengan pacarnya. Ini lantas yang membuat kedua pihak keluarga menikahkan
anak mereka.
Tapi semua ijtihad asal tidak didasarkan dengan Nafsu dan golongan
insyaAllah akan mendapat hasil yang baik, sampai – sampai yang utama adalah
nanti dihadapan Allah. Semoga kita dijadikan hamba – hambanya yang benar.
Amien.
POLIGAMI
PANDANGAN ISLAM
Poligami dalam Islam merupakan praktik yang diperbolehkan (mubah, tidak larang namun
tidak dianjurkan). Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat
orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh
istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 4:3).
Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki.”
Beberapa ulama kontemporer seperti Syekh
Muhammad Abduh , Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan (ketiganya
ulama terkemuka Al Azhar Mesir) lebih memilih memperketat penafsirannya. Muhammad Abduh
dengan melihat kondisi Mesir saat itu (tahun 1899), memilih
mengharamkan poligami. Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi
seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil.Saat ini negara Islam
yang mengharamkan poligami hanya Maroko . Namun sebagian besar negara-negara Islam di dunia
hingga kini tetap membolehkan poligami, termasuk Undang-Undang Mesir dengan
syarat sang pria harus menyertakan slip gajinya
Nabi Muhammad,
nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa
hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah
istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita.
Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri
sahabatnya Abu Bakar).
Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih
dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi sosial. Mekanisme
beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk
meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab
pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah
sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami,
mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil
dalam beristeri lebih dari satu wanita.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah
mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan
menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah
ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan
eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas
sama
Nabi Muhammad
saw marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah
, akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu,
Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru:
Beberapa
keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan
putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan,
sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin
Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka.
Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah
menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.
Penentang poligami
kerap menggunakan hadits
diatas untuk menolak dibolehkannya poligami, namun sebenarnya, hadits tentang
kejadian yang sama dalam versi yang lebih lengkap menceritakan bahwa marahnya
Nabi Muhammad saw dikarenakan oleh calon yang hendak diperistri Ali adalah
putri dari Abu Jahal,
yakni salah satu musuh Islam saat itu.
Abu Yamân
meriwayatkan kepada kami dari Syu'aib dari Zuhri dia berkata, Ali ibn Husain
meriwayatkan kepadaku bahwa Miswar ibn Makhramah berkata, Sesungguhnya Ali
meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu
lalu kemudian dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Kaummu
mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu. Dan ini Ali (ingin)
menikahi anak perempuan Abu Jahal." Lalu Rasulullah s.a.w. berdiri, maka
dia pun berdiri. Kemudian aku mendengarkan Beliau ketika mengucapkan tasyahhud
(seperti pada khutbah) dan berkata, "Amma Ba'd, Aku telah menikahkan Abu
Âsh ibn Rabî' kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku. Dan
sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu
yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah s.a.w.
dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki." Kemudian Ali
meninggalkan pinangannya
DALAM PERUNDANG – UNDANGAN INDONESIA
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami
diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan
dengan ajaran islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Beberapa pasal yang menyebutkan tentang UU Poligami :
UU No 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
Asas Monogami Relatif
Pasal 9
seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan
orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat
(2) dan 4 UU ini.
Pasal 3 ayat (2):
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan
Syarat Poligami
A. Syarat
Alternatif (Pasal 4 ayat 2)
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri;
2. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak
dapat disenbuhkan;
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
B. Syarat Komulatif (Pasal 5 ayat (1)
1. Persetujuan
istri/istri-istri
2. Mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak
3. Jaminan akan berlaku adil.
2. Mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak
3. Jaminan akan berlaku adil.
Syarat Khusus PNS PP No 10 Tahun 1983 jo PP 45 Tahun
1990Tentang Perceraian dan Perkawinan Bagi PNS :
Syarat Poligami harus ada izin atasan. Izin tdk
diberikan dalam hal (Ps 10 PP 10/1983):n
1. Bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama
2. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
3. Alasan tidak masuk akal
4. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas
Larangan bagi wanita PNS untuk menjadi istri
kedua,ketiga, keempat (Pasal 4 ayat (2) PP 45/1990
PANDANGAN SAYA
Selama suami
bisa berlaku adil terhadap semua istrinya, menurut saya tidak menjadi persoalan
untuk kaum Adam menjalankan praktek poligami.
Surat al-Nisa’
ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami wajib berlaku adil
terhadap isteri-isterinya. Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini sering
menjadi perdebatan yang panjang tidak saja di kalangan ahli hukum tetapi juga
di masyarakat. Oleh sebab itu, menurut saya apa yang dimaksud berlaku adil
atau makna keadilan sebagai syarat poligami.
Imam Syafi’i,
al-Sarakhsi dan al-Kasani mensyaratkan keadilan diantara para isteri, menurut
mereka keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal
mengunjungi isteri di malam atau di siang hari.
Seorang suami
yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh paling tidak memliki dua syarat: Pertama,
kemampuan dana yang cukup untuk membiaya berbagai keperluan dengan bertambahnya
isteri. Kedua, harus memperlakukan semua isterinya dengan adil.
Tiap isteri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan
serta hak-hak lain.
Persyaratan
demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan yang cukup luas bagi
suami yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik
dan non fisik, oleh imam Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan para ulama’ yang
setuju dengannya, diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau material
saja.
M. Quraish
Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat 3 surat al-Nisa’ bagi
suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam bidang material. Sebagaimana
yang ditegaskan oleh ayat 4 surat al-Nisa’:
”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.”
Selain itu Allah
SWT. juga berfirman dalam surat al-Nisa’ ayat 129:
“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”
Keadilan yang
dimaksudkan dalam ayat di atas adalah adil dalam bidang immaterial
(cinta). Keadilan ini yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh
sebab itu, suami yang berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan
berkelebihan cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah
tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup rapat pintu
poligami.
Berdasarkan
berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam perkawinan poligami,
dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami dalam perkawinan
pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal ini menjadikan lebih mudah
dilakukan dan poligami menjadi sesuatu lembaga yang bisa dijalankan.
Sebaliknya, jika
keadilan hanya ditekankan pada hal-hal yang kualitatif seperti cinta, kasih
sayang, maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin
dilaksanakan.Padahal Allah SWT. menjanjikan dalam surat al-Baqarah ayat 286 :
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar