BAB I
PENDAHULUAN
Berkembangnya
pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses pendidikan
Islam telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang sejalan dengan
perkembangan sosial budaya umat Islam. Melalui sejarah Islam pula, umat Islam
bisa meniru pola pendidikan Islam pada masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad
SAW, sahabat dan ulama’ setelahnya. Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum
muncul sekolah dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia
Islam sesungguhnya sudah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non
formal, diantaranya adalah masjid.
Pada masa Nabi,
masjid bukan hanya sebagai sarana ibadah, tapi juga sebagai tempat menyiarkan
ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa, disamping sebagai
tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat menerima duta-duta
asing.Bahkan di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, masjid yang
didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas
pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari
berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu.Sebelum al-Azhar
didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang dipakai sebagai
tempat belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu.
Islam mengalami
kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada
saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan menulis dan dapat
memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa ini murid-murid di
tingkat dasar mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas, jelas dan mudah
dipahami tentang beberapa masalah.Pendidikan di tingkat dasar ini
diselenggarakan di masjid, dimana al-Quran merupakan buku teks wajib.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Abbasiyah
Kekuasaan
dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah, dinamakan khilafah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad
Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibnu Muhammad ibnu Ali
ibnu Abdullah Ibnu Al-Abbas.Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang dari tahun 132 H ( 750 M) s.d
656 H (1258 M).[1]Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pamerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa kekuasaan
Daulah Abbasiyah dalam lima periode,[2] yaitu :
1. Periode I (132 H/750 M – 232 H/ 847 M) masa
pengaruh Persia Pertama.
2. Periode II (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M) Masa
pengaruh Turki Pertama
3. Periode III
(334 H/945 M – 447 H/ 1055 M) masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh persi kedua.
4. Periode
IV (447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M) masa bani saljuk.
5. Periode V (590 H/1104 M –
656 M/ 1250 M)
Daulah
Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya pada periode I, para
kholifah pada masa periode I dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik
dan agama sekaligus kemakmuran masyarakat pada saat ini mencapai tingkat yang
tinggi.Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa Khalifah Harun
Al-Rasyid (786 M-809 M) dan putranya Al-Makmun (813 M-833 M). Kekayaan yang
dimiliki khalifah Harun Al-Rasyid dan putranya Al-Makmun digunakan untuk
kepentingan social seperti: lembaga pendidikan, kesehatan, rumah sakit,
pendidikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman
keemasan. Al-makmun khalifah yang cinta kepada ilmu dan banyak mendirikan
sekolah.[3]
Menurut Ahmad
Syam, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nizar dalam bukunya yang berjudul
“Sejarah Pendidikan Islam” bahwa
faktor-faktor pendorong berdirinya
Daulah Abbasiyah dan penyebab suksesnya, adalah sebagai berikut:[4]
1. Banyak
terjadi perselisihan antara bani Umayyah pada dekade terakhir pemerintahannya,
di antara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kekahalifahan dan harta.
2. Pendeknya
masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan bani Umawiyah, seperti
khalifah Yazid bin Al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.
3. Putra
mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang dikerjakan oleh Marwan bin
Muhammad yang menjadikan anaknya Abdullah dan Ubaidillah sebagai putra mahkota.
4. Bergabungnya
sebagian afrad keluarga Umawi kepada madzhab-madzhab agama yang tidak benar
menurut syari’ah, seperti Al-Qadariyah.
5. Hilangnya
kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan bani Umawiyah.
6. Kesombongan pembesar-pembesar
bani Umawiyah pada akhir pemerintahannya.
7. Timbulnya dukungan dari Al-Mawali
(non-Arab)
Selama dinasti
ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya.Pada periode ini, segala potensi yang
terkandung dalam kebudayaan yang didasari nilai-nilai Islam mulai bergerak
secara perlahan namun strategis.Selain terjadi kemajuan pada bidang
sosio-ekonomik, terjadi pada kemajuan pada bidang intelektual.Kemajuan
intelektual tersebut ditunjang oleh kemajuan pendidikan baik institusi, insfrastruktur
maupun kemajuan sains dan obyek-obyek studinya.[5]
Walaupun
demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan itu seperti gerakan-gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan
intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan zindik di
Persia, gerakan Syi’ah dan konflik antar bangsa serta aliran pemikiran
keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
B. Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani
Abbasiyah
Masa
bani abbasiyah merupakan masa kejayaan islam dalam berbagai bidang, khususnya
bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini, umat islam telah banyak
melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan sehingga mengalami kemajuan
dengan pesatnya.[6]
Pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai buku
karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti buku-buku karya bangsa yunani,
romawi, dan persia. Berbagai naskah yang ada dikawasan timur tengah dan afrika,
seperti mesopotamia dan mesir menjadi perhatian.
Banyak para ahli yang berperan dalam
proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah kelompok mawali atau orang-orang
non-arab, seperti orang-orang non-arab,
sepertiorang-orang persia. Pada maasa itu. Pusat-pusat kajian ilmiah bertempat
di masjid-masjid. Pada masa permulaan dinasti abbasiyah. Belum terdapat
pusat-pusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah.[7]
Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, mulai didirikan lembaga pendidikan
formal, seperti darul hikmah yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh
khalifah al Makmun. Dari lembaga ini banyak melahirkan para sarjana dan para
ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan dinasti abbasiyah.
Dari paparan yang ada diatas dapat
di tarik kesimpulan, bahwa pada masa kekuasaan bani abbasiyah mengalami
perkembangan yang begitu pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang ilmu
agama, terutama mengalami kemajuan pada masa khalifah Harun Ar Rasyid dan
khalifah Al Makmun. Pada masa khalifah harun ar rasyid banyak para ulama dan
udaba’ yang bermunculan dan mulai banyak di bangun lembaga pendidikan formal
untuk mencetak ilmuwan-ilmuwan yang kompeten di bidangnya. Sedangkan pada masa khalifah al makmun pertama kali
munculnya ilmu filsafat dan juga munculnya buku kedokteran.
Ilmu pengetahuan di pandang sebagai sesuatu
yang sangat penting dan mulia. Para khalifah dan pembesar lainnya membuka
kemungkinan seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.[8]Perkembangan
ilmu pengetahuan sangat menakjubkan sehingga zaman ini sering disebut dengan
zaman keemasan dunia islam. Berikut ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang
beserta tokoh-tokohnya.
a. Ilmu kedokteran
Ilmu
kedokteran mulai berkembang dengan pesat pada masa akhir dinasti abbasiyah I.
Pada masa ini, banyak sekolah kedokteran dan rumah sakit yang didirikan.
Dinasti bani abbasiyah telah banyak melahirkan dokter kenamaan, diantaranya
sebagai berikut.
1)
Hunain
ibnu ishaq ( 804-874 M ), terkenal sebagai dokter ahli di bidang penyakit mata
dan penerjemah buku-buku pengetahuan
dari bahasa asing ke dalam bahasa arab.
2)
Ar
Razi ( 809-873 M ), terkenal sebagai dokter ahli di bidang penyakit cacat dan
campak. Ia adalah dokter rumah sakit bagdad buku karangannya di bidang
kedokteran berjudul al-Hawi.
3)
Ibnu
sina ( 980-1036 M ), karyanya yang terkenal adalah al Qannun fi al- Tibb dan
dijadikan buku pedoman kedokteran bagi universitas di Eropa dan negara-negara
islam.
4)
Abu
marwan abdul malik ibnu abil ‘ala ibnu zuhr ( 1091-1162 ), terkenal sebagai dokter ahli di bidang penyakit dalam
( internis ). Karya yang terkenal ialah at-taisir ( pemudahan perawatan ) dan
al-iqtida’ yang ditulis tahun 11121 M.
5)
Ibnu
rusyd ( 520-595 M ), terkenal sebagai dokter perintis di bidang penelitian
pembuluh darah dan penyakit cacar.
6)
Abu
zakaria yuhana bin maskawih, seorang ahli farmasi di rumah sakit yundishapur.
7)
Sabur
bin sahal, menjadi direktur rumah sakit yundishapur.
b. Ilmu perbintangan
Kaum
muslimin pada masa dinasti abbasiyah mempunyai modal besar untuk ilmu
mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka mengkaji dan menganalisa berbagai aliran
ilmu perbintangan dari berbagai suku bangsa, seperti bangsa yunani, india,
persia. Ilmu perbintangan memegang peranan penting, dalam menentukan garis
politik para khalifah dan amir. Berikut di antara ahli ilmu perbintangan yang
terkenal
1) Abu ma’syur al falaki, karyanya yang
terkanal ialah isbatul ulum dan haiatul falaq.
2) Jabir al-batany, pencipta alat teropong
bintang yang pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitabu ma’rifati
matlil-buruj baina arba’il falaq.
3) Raihan al-biruny, karyanya yang terkenal
adalah al-tafhim li awa’ili bina atit tanjim
c. Ilmu pasti
Pada
masa dinasti abbasiyah juga berkembang ilmu pasti dan cabang-cabangnya.
Misalnya, ilmu geometri yang berfungsi untuk menerangkan sifat-sifat garis,
sudut, bidang, dan ruang. Ilmu ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan para
perancang bangunan, seperti istana, masjid, dan bangunan lainnya. Di antara tokoh
ilmuwan muslim di bidang ilmu pasti yang terkenal pada masa ini adalah sebagai
berikut.
1) Sabit bin qurrah al hirany ( 211-288 H
), karyanya yang terkenal ialah Hisabul Ahliyyah
2) Abdul wafa muhammad bin muhammad bin
ismail bin abbas, karyanya yang terkenal ialah Ma yahtaju Ilahi Ummar wal
kuttab min sinatil hisab
3) Sinan Ali Muhammad bin Hasan.
d. Ilmu farmasi dan kimia
Pada
masa ini juga berkembang ilmu farmasi, yaitu ilmu untuk menentukan obat dan
pembuatan obat-obatan, makanan, serta gizi. Di antara para ahli farmasi pada
maa dinasti abbasiyah adalah ibnu baitar. Karyanya yang terkenal adalah
al-mugni ( tentang obat-obatan ), jami’ mufratil-adwiyyah wa agziyah ( tentang
obat-obatan dan makanan atau gizi ), dan Mizani Tabib. Adapun di bidang kimia,
adalah abu bakar ar-Razi dan Abu Musa Ya’far al-Kufi.
e. Ilmu filsafat
Setelah
kitab-kitab filsafat yunani diterjemahkan ke dalam bahasa arab pada masa pemerintahan harun
ar-rasyid dan al-makmun, kaum muslimin sibuk mempelajari ilmu filsafat. Bahkan, mereka mulai menafsirkan
dan mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran islam. Akhirnya
lahirlah filsafat islam. Tokoh dalam ilmu filsafat islam, al kindi, al farabi,
ibnu sina dan lain-lain.
f.
Ilmu
sejarah
Dalam
masa pemerintahan dinasti abbasiyah telah disusun buku-buku sejarah dalam
berbagai bidang, meliputi manusia dan peristiwa.[9]
Di antara para sejarawan yang terkenal pda masa itu ialah abu ismail al-azdy
dengan karyanya kitab futhusy-syam a waqidy dengan karyanya kitab al-magazy,
dll
g. Ilmu geografi
Pada
masa dinasti abbasiyah telah berkembang ilmu geografi, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang permukaan bumi. Di antara ilmuwan geografi, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang permukaan bumi, iklim, penduduk, flora, fauna, serta hasil
yang diperoleh di bumi. Di antara ilmuwan geografi saat ituialah ibnu
khardazbah dengan karyanya kitabul masalik wal mamalik, ibnul haik dengan
karyanya kitabul iktim
h. Ilmu sastra
Pada
masa dinasti abbasiyah juga berkembang ilmu sastra, sehingga melahirkan para
penyair dan pujangga yang terkenal. Di antara para penyair yang terkenal pada
masa dinasti bani abbasiyah adalah abu nawas, abu atiyah, abu tamam
Dari penjelasan di atas dapat
dilihat secara jelas bahwa kemajuan yang dicapai oleh daulah bani abbasiyah
tidak hanya di bidang politik, kebudayaan tetapi juga di bidang ilmu
pendidikan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan sehingga pada masa bani
abbasiyah banyak lahir ilmuwan-ilmuwan yang ahli di bidang masing-masing
seperti ibnu sina, al farabi dll. Ilmuwan-ilmuwan yang muncul pada masa bani
abbasiyah tidak hanya di bidang ilmu kedokteran tetapi mencakup semuanya, yaitu
ilmu perbintangan, ilmu pasti, farmasi dan kimia, filsafat, sejarah geografi
dan sastra. Sehingga masyarakat mulai dapat berfikir secara kritis dan mendalami
ilmu-ilmu tersebut, karena sudah ada ilmuwan-ilmuwan yang ahli di bidang
masing-masing.
Kemajuan peradaban islam di era
dinasti abbasiyah ini juga ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman
lain yang meliputi teologi atau ilu kalam dan fiqh. Para khalifah dan pembesar
lain mendorong dan bahkan mensponsori aliran teologi yang sesuai dengan
pemahamannya. Hal ini menimbulkan perdebatan terbuka dan terkadang meningkat
menjadi konflik. Dengan demikian, polarisasi paham keagamaan menjadi
jabariyah-qadariyah, asy’ariyah-maturidiyah, telah ikut menyuburkan semangat
pencarian kebenaran di kalangan masyarakat. Tidak sedikit karya tulis di bidang teologi yang disusun oleh mahdzab
yang ada. Setiap karya berupaya mengajukan argumentasi untuk mempertahankan dan
memperkuat pendapatnya sekaligus menyerang pendapat yang lain.
Dengan demikian, teologi muncul
karena politik, dengan adanya permasalahan tersebut banyak muncul
firqah-firqah. Semua firqah-firqah yang saling megemukakan pendapat yang
bertentangan tapi ada juga yang memiliki argument yang sama. Dengan adanya
argument-argument tersebut menyebabkan semua firqah-firqah saling bertentangan
dan adanya banyak konflik.
Di
samping berkembangnya ilmu pengetahuan, pada masa ini juga berkembang pula
ilmu-ilmu agama, seperti:
1) Ilmu Tafsir
Perkembangan
ilmu tafsir pada masa Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan pesat. Tafsir pada
zaman ini terdiri atas tafsir bil-ma’sur (Al-Qur’an ditafsirkan dengan
Al-qur’an atau hadis-hadis nabi) dan tafsir bir-ra’yi (penafsiran Al-qur’an
dengan menggunakan akal pikiran).
Para ahli tafsir bil-ma’sur, antara lain Jarir at-Tabary. Ibnu
‘Atiyahal-Andalus as-Suda’i (mendasarkan tafsirnya kepada Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud). Muqat bin Sulaiman (tafsiran terpengaruh oleh kitab Taurat), Muhammad
bin Isha (dalam tafsirnya banyak mengutip cerita israiliyat).
Adapun para ahli tafsir bir-ra’yi, antara lain ialah Abu Bakar
Asam, Abu Muslim Muhammad bin Bahr Isfahany, Ibnu Jaru al-Asady, dan Abu Yunus
Abdussalam kesemuanya beraliran mu’tazilah.
2) Ilmu Hadits
Pada
masa ini sudah ada usaha pengodifikasian hadits sesuai kesahihannya lahir
ulama-ulama’ hadits terkenal, seperti imam bukhori, muslim, at-tirmizi,abu
dawud, ibnu majah, dan an-nasa’i. Dari mereka diperoleh kutubus
sittah(kitab-kitab enam), yaitu sahih al-bukhori, sahih muslim, sunan
at-tirmizi, sunan abu dawud, sunan ibnu majah, dan sunan an-nasa’i.
3) Ilmu Kalam
Ilmu
kalam lahir disebabkan dua faktor, yaitu musuh lslam ingin melumpuhkan islam
dengan menggunakan filsafat dan hampir semua masalah, termasuk masalah agama
telah terbakar pada pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Diantara pelopor dan
ahli ilmu kalam ialah wasil binata’, abu huza al-allaf, ad-daham, abu hasan
al-asy’ari,dan imam gazali.
4) Ilmu Tasawuf
Ilmu
tasawuf ialah ilmu syari’at. Inti ajarannya ialah tekun beribadah dengan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada allah, meninggalkan/menjauhkan diri dari
kesenangan atau perhiasan dunia dan bersembunyi diri dalam beribadah. Diantara
ulama’ tasawuf masa ini adalah al-quraisy dengan karyanya yang terkenal adalah
Risalatul-Quraisy dan imam al-ghazali denagn karyanya yang terkenal adalah ihya
ulumuddin.
5) Ilmu Bahasa
Ilmu
bahasa yang berkembang ialah nahwu, saraf, bayan, badi’, dan arud. Ilmu bahasa
pada masa Dinasti Abbasiyah berkembang cukup pesat karena bahasa arab yang
semakin berkembang memerlukan ilmu bahasa yang menyeluruh. Kota basrahdan kufah
merupakan pusat pertumbuhan dari kegiatan ilmu bahasa(ilmulugah). Diantara para
ahli ilmu bahasa adalah sibawaiah, al-kisai, dan Abu Zakariyah al-farra.
6) Ilmu Fiqih
Dari
aspek hukum, pada periode ini juga timbul puluhan aliran atau mazhab yang
menawarkan metode dan pendapat yang beragam. Ada empat mazhab besar yang
bertahan di kalangan suni, yaitu hanafi, maliki, syafi’i, dan hanbali. Semula pengelompokan
aliran atau mazhab fikih ini lebih berdasarkan pada kota yang menjadi pusat
pengembangannya, yaitu mazhab madinah, mazhab damaskus, dan mazhab mesir. Baru
pada periode abbasiyah, mazhab fikih lebih dintributkan kepada tokoh pemikir
terbesarnya, yaitu imam abu hanifah (699-767 M), imam malik bin anas (715-795
M), imam muhammad idris asy-syafi’i (820), dan imam ahmad bin hanbal (855 M). Disamping itu, juga dikenal Abu
Yusuf (798 M), murid imam abu hanifah, yang pernah menjabat sebagai hakim agung
(qadi al-qudat), dan dawud bin khallaf (833 M) yang menjadi pelopor aliran
tekstualis (Mahab Zahiri).
Karya-karya
ulama’ mazhab fiqih, antara lain Imam Abu Hanifah,karyanya fiqhu akbar dan
al-alim wal muta’an, imam maliki, karyanya yang terkenal ialah kitab
al-muwatta’, imam syafi’i karyanya yang terkrnal ialah al-umm dan usul fiqih,
imam al mad bin hanbal, karyanya yang terkenal ialah al-musnad.
Dari penjelasan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa perkembangan pendidikan sangat pesat tidak hanya di bidang
ilmu pengetahuannya saja tetapi juga dalam bidang ilmu agama, seperti pada ilmu
tafsir pada masa kekuasaan bani abbasiyah perkembangan ilmu tafsir sangat pesat
dan pada kala itu tafsir ada dua bil ma’tsur dan ra’yi dalam kedua tafsir
tersebut banyak tokoh-tokoh yang kompeten di bidang ilmu tafsir khususnya kedua
tafsir tersebut.
C. Metode
Mengajar
Lebih tinggi dari kuttab,
kaum muslimin dapat memperoleh pendidikan semacam sekolah menengah yang
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan seperti Al-Qur’an, bahasa Arab, fikih,
hadits, mantik, ilmu pasti, ilmu falak, kedokteran dan ilmu-ilmu alam lainnya.
Ibnu sina mengatakan bahwa pemilihan bidang pelajaran ditentukan pula oleh
bakat dan kecenderungan anak yang akan menempuhnya.
Pada pelajaran tingkat tinggi, kaum muslimin dapat
menempuh dua jurusan, ilmu-ilmu naqliyah dan
ilmu-ilmu ‘aqliyah. System belajarnya
yaitu berhalaqah-halaqah menurut bidang ilmu yang dikuasai oleh syekh yang
memegang halaqah tersebut[10].
Dari keterangan di atas, dapat kita ketahui bahwa
metode atau system yang digunakan untuk mengajar yaitu dengan halaqah. Halaqah
yaitu metode yang di dalamnya terdapat seorang syekh/guru yang membaca suatau
kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama lalu
santri mendengar dan menyimak bacaaan syekh/guru. Dengan metode seperti ini,
proses pengajaran dapat di katakan efektif dan efisien.
D. Materi Pendidikan/Pengajaran
Pada masa khulafa’ur rasyidin, bani umayyah,
abbasiyah, fatimiyah dan utsmaniyah lembaga-lembaga pengajaran lebih berkembang
dari pada masa Rasulullah SAW, meskipun kurikulumnya tidak jauh dari
pokok-pokok pengajran semasa Rasulullah SAW. Pada masa itu berkembang apa yang
disebut kuttab, yaitu lembaga
pendidikan yang diselenggarakan untuk anak-anak (tingkat dasar). Dalam kuttab dipelajari Al-Qur’an (membaca dan
menghafalnya), pokok-pokok ajaran Islam, riyat, menulis, syair, berhitung dan
dasar-dasar ilmu nahwu dan sharaf[11].
Dari keterangan tersebut, dapat kita ketahui bahwa materi pendidikan
atau pengajaran pada masa itu di tingkat dasar sudah sangat
kompleks/menyeluruh, mulai dari menulis, berhitung, membaca dan menghafal
Al-Qur’an, mempelajari pokok-pokok Islam (cara berwudlu, cara sholat,
macam-macam sholat sunnah, sholat jenazah, puasa dan do’a-do’a), riyat, syair
sampai dasar-dasar ilmu nahwu dan sharaf. Pengajaran yang seperti itu
tidak ditemukan di Negara islam manapun, karena setiap Negara pasti berbeda.
Seperti di Andalusia, hanya mengajarkan Al-Qur’an, menulis, pokok-pokok ajaran
Al-Qur’an dan khat. Sedangkan di Tunisia (fiqiyah), hanya diajarkan Al-Qur’an,
Hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi hanya terfokus/lebih mementingkan
ilmu Al-Qur’an. Materi pendidikan yang telah disebutkan di atas sesuai dengan
falsafah masyarakat yang hidup di dalamnya dan bertujuan untuk mewujudkannya,
yaitu persiapan untuk kehidupan di akhirat, dengan mendidik anakk untuk
mentatati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, serta memungkinkan anak
untuk mengetahui ilmu-ilmu dan keahlian-keahlian yang akan membantu mereka
mencapai keberhasilan dalam hidup dan bermanfaat bagi masyarakat.
E. Lembaga
pendidikan dimasa Bani Abasiyah
1).
Lembaga-lembaga pendidikan dimasa Bani Abasiyah
Selain masjid, kuttab, Al-badiah, istana, perpustakaan dan
Al-bimarista, sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya,
di masa Bani Abasiyah ini
telah berkembang pula lembaga pendidikan berupa toko buku, rumah para ulama, majlis Al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium,dan
madrasah-madrasah.Untuk lebih jelasnya maka akan kami paparkan macam-macam lembaga yang tumbuh pada zaman Bani Abasiyah
berikut ini :
a) Al-hawanit al-waraqien (Toko buku)
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas,bahwa pada zaman Abasiyaah merupakan puncak kejayaan
islam dalam bidang ilmu pengetahuan,
kebudayaan, dan peradabaan. Kemajuan dalam bidang
ilmu pengetahuan tersebut mendorong lahirnya para pengarang, dan lahirnya para
pengarag tersebut mendorong lahirnya industri pembukuan,dan industri pembukuan
mendorrong lahirnya toko-toko buku yang dalam bahasa arab disebut Al-hawanit
al-wariqien. Dibeberapa
kota yang didalamnya terdapat toko-toko buku,menggambarkan bahwa kota atau
negara tersebut telah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan.
Dari
uraian diatas maka penyusun dapat menyimpulkan: Bahwa pada zaman Bani
Abasiyyah telah berkembang pesat ilmu pengetahuan, hal ini dapat dilihat
dari banyaknya toko-toko buku yang berdiri.toko buku ini berdiri karena adanya
para pengarang buku yang mempunyai keahlian dalam pemikiran yang kemudiaan
mereka tuangkan dalam bentuk buku.Buku inilah yang merupakan sarana
menghantarkan pesatnya perkembangan ilmu pada masa Bani Abasiyyah.
b) Manazil al-ulama (rumah-rumah para
ulama)
Ada
sejumlah tempat yang cocok untuk mempelajari ilmu yang jumlahnya sulit
dihitung, karena
tempat belajar dan para mahasiswa secara bersama-sama tidak pernah istirahat
didalam memanfaatkan tempat dan memuliakannya, dan antara halaqah
pengajaran, aktivitas
dan kegiatan yang terjadi di dalamnya. Hal ini sejalan dengan isyarat
Al-qur’an, sebagaimana
dijumpai di dalam ayat Al-karimah,
yang
artinya :
“Hai orang-orang yang
beriman,janganlah kamu memasuki rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk
makan dengan tidak menunggu waktu masak (makanannya) tetapi jika kamu diundang
maka masuklah, dan
bila kamu selesai makan,keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
(QS. Al-ahzab (33): 53).
Pelaksanaan
kegiatan belajar dirumah pernah terjadi pada awal permulaan islam,yaitu pada
saat sebelum tumbuhnya masjid. Rasulullah SAW, misalnya pernah
menggunakan rumah al-arqam (Dar al-arqam) bin abi al-arqam sebagai markas
tempat bertemunya para sahabat dan para pengikut nabi, dan mengajar mereka
tentang dasar-dasar agama yang baru,serta membacakan ayat-ayat Al-qur’an yang
diturunkan, sebagaimana
Rasulullah menerima orang-orang yang ingin masuk islam dan mengikuti ajarannya
dirumah ini, agar
rasulullah lebih merasa mantap dalam memberikan bimbingan dan pengajaran, sehinnga ia benar-benar
memeluk islam dan bergabung dengan kaum muslimin.
Dari
uraian diatas maka penyusun dapat menyimpulkan: kegiatan pengajaran di
dalam rumah para ulama’ tidak saja terjadi di zaman abasiyah, namun hal ini sudah
dipraktikkan oleh nabi sebelumnya,
dengan
pengajaran dasar-dasar agama islam yang baru serta membacakan Ayat-ayat suci
Al-qur’an agar mereka semua mantap dan akhirnya memeluk agama islam dengan
sempurna.Dimana cara ini dilanjutkan oleh generasi dinasti Abasiyyah. Cara ini
terhitung sangat efektif untuk memperoleh ilmu karena para siswa lebih bisa
mengenal dekat para ulama’ serta karakteristik mereka dalam mengajar, sehingga para siswa
lebih bisa leluasa berdiskusi dan bertanya dengan para ulama’ tanpa ada
pembatas diantara mereka.
c) Al-sholun al-adabiyah (sanggar sastra)
Sanggar
tari ini mulai tumbuh sederhana pada masa pemerintahan Bani Umayyah, kemudian berkembang
pesat pada masa Abasiyah kemudian berkembang lebih lanjut dari perkumpulan pada
zaman Khulafaurrasyidin. Hal ini sejalan dengan kebiasaan khalifah pada zaman
islam yang biasanya merencanakan program dalam urusan yang bersifat duniawi,namun
meminta fatwa dari segi agama. Dan atas dasar
ini,maka diantara syarat terpenting dari seorang khalifah adalah
memiliki ilmu yang dibutuhkan untuk berijtihad.
Keadaan
tersebut menyebabkan majlis al-khulafah ar-rasyidin dihubungkan de ngan sanggar
sastra,karena kedua institusi ini berkaitan dengan upaya pengembangan peradaban
dan usaha menyebarkan ilmu pengetahuan.Selain itu, tampak pula pemisah
yang tegas antara majlis khalifah tersebut dengan sanggar sastra.
Dari
uraian diatas maka penyusun berkesimpulan : bahwa peradaban islam pada masa
Bani Abasiyah itu sangat menghargai adanya kreatifitas yang hal tersebut akan
mendukung kehidupan manusia di dunia ini sebagaimana tersebut diatas adanya
sanggar sastra, bahkan
islam mengelompokkan kreatifitas tersebut masuk dalam hal pendidikan, meskipun diantara
keduanya tampak pula pemisah yang tegas di dalam hal urusan keakhiratan, sebab para ulama tidak
mau jika urusan duniawi tersebut mengalahkan urusan ukhrowi, tetapi mereka mempunyai
keyakinin bahwa semua kreatifitas dalam bidang sastra maupun lainnya itu
bersumber dari sang Khaliq yaitu Allah.
d) Madrasah
Secara
harfiyah madrasah berarti tempat
belajar.adapun dalam pengertian yang lazim digunakan,madrasah adalah lembaga
pendidikan tingkat dasar dan menengah yang mengajarkan ilmu agama dan ilmu
lainnya dengan menggunakan sistem klasikal. Dalam sejarah,madrasah ini mulai
muncul di zaman khalifah bani Abbas,sebagai kelanjutan dari pendidikan yang
dilaksanakan dimasjid dan tempat lainnya. Dalam kaitannya ini,Ahmad Salabi
berpendapat,bahwa ketika minat masyarakat untuk mempelajari ilmu di halaqah
yang ada di masjid-masjid makin meningkat dari tahun ketahun,dan menimbulkan
kegaduhan akibat dari suara para pengajar dan para siswa yang saling berdiskusi
dan lainnya yang mengganggu kekhusyu’kan shalat,maka mulai difikirkan adanya
tempat mempelajari ilmu yang dirancang secara khusus serta dilengkapi dengan
berbagai sarana dan prassaarana lainnya yang diperlukan.
Dari
uraian diatas maka penyusun berkesimpulan :didirikannya madrasah pada masa bani
Abasiyyah disebabkan para ulama’ pada saat itu prihatin dengan digunakannya
masjid sebagai tempat pembelajaran yang mana hal tersebut menimbulkan kegaduhan
dan rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh para jamaah masjid,mereka menjadi
tidak khusyu’ dan merasa bising dengan adanya suara yang ditimbulkan dalam
proses belajar mengajar,akhirnya didirikanlah tempat yang khusus untuk proses
belajar mengajar sehinnga hal ini memiliki nilai manfaat yang besar bagi para
siswa dan jamaah masjid.
e) Perpustakaan dan observatorium
Dalam
rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang terjadi di zamn Abasiyah, maka didirikan pula
perpustakan, observatorium, serta tempat penelitian
dan kajian ilmiah lainnya. Tempat-tempat ini juga digunakan sebagai tempat
belajar mengajar,dalam arti yang luas,yaitu belajar bukan dalam arti menerima
ilmu dari guru sebagaimana yang umumnya dipahami ,melainkan kegiatan belajar
yang bertumpu pada aktivitas siswa (learning by doing),dan inquiry (penemuan).
Kegiatan belajar yang demikian itu dilakukan bukan hanya dikelas,melainkan
ditempat-tempat /lembaga pusat kajian ilmiah.tempat-tempat tersebut telah
tumbuh pada zaman Abasiyya.
Dari
uraian diatas maka penyusun dapat menyimpulkan :lembaga pendidikan ini
didirikan dengan tujuan agar para siswa lebih aktif,inovatif dan kreatif di
dalam mengembangkan keilmuannya yang
tidak hanya bergantung pada pengajaran oleh guru dikelas namun para siswa dapat
mandiri untuk meningkatkan keilmuannya sehinnga ilmu tersebut berkembang dan
menghasilkan penemuan-penemuan baru di bidang keilmuwan mereka.
f) Al-ribath
Secara
harfiyah al-ribath berarti ikatan yang mudah dibuka,sedangkaan dalaam arti yang
umum adalah tempat untuk melakukan latihan,bimbingan dan pengajaran bagi calon
sufi. Di dalam al-ribath tersebut terdapat berbagai ketentuan atau komponen
yang terkait dengan pendidikan tasawuf,misalnya komponen guru yang terdiri dari
syekh (guru besar),mursyid (Guru utama),mu’id (asisten guru),dan mufid
(fasilitator). Murid pada al-ribath dibagi sesuai dengan tingkatannya.
Dari
uraian diatas maka penyusun dapat menyimpulkan :dalam mencetak kader-kader sufi
yang barumaka pada masa Bani Abasiyyah didirikanlah al-ribath yang mana lembaga
ini mengajarkan pendidikan penting mengenai jalan menuju kesufian dan yang
ditunjang dengan komponen para pengajar yang sudah pakar dalam bidangnya
masing-masing secara klasifikasi.
g) Az-zawiyah
Secara
harfiyah berarti sayap atau samping sedangkan dalam arti yang umum adalah
tempat yang berada dibagian pinggir masjid yang dilakukan untuk bimbingan
wirid,dan zikir untuk mendapatkan kepuasan spiritual. Dengan demikian
az-zawiyah dan al-ribath mempunyai fungsi yang sama,namun al-ribath lebih
bersifat khusus.[12]
Dari
uraian diatas maka penulis dapat menyimpulkan :lembaga ini mirip dengan
al-ribath namun bedanya al-ribats lebih mempunyai kekhususan baik dari segi
tempat dan pelajarannya,sedangkan az-zawiyah lebih umum karena tidak hanya
mengajarkan khusus ilmu kesufian namun juga ilmu-ilmu lainnya yang juga
memiliki tempat yang umum yakni disamping masjid,hal ini dimaksudkan untuk
memanfaatkan tempat yang sebelumnya tidak terpakai menjadi lebih bermanfaat
serta menambah pengetahuan tentang ilmu juga.
h) Suffah
Pada
masa Rasulullah Suffah adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktifitas
pendidikan,biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan
mereka tergolong miskin,disini para siswa diajari membaca dan menghafal
Al-qur’an secara benar dan hukum islam dibawah bimbingan langsung dari
Nabi,dalam perkembangan selanjutnya lembaga ini juga menawarkan pelajaran
dasar-dasar menghitung,kedokteran,astronomi,geneologi dan ilmu filsafat.
Dari
uraian diatas maka penyusun menyimpulkan :suffah atau kalau zaman sekarang
dapat dikatakan sebagai pondok pesantren didirikan pada masa bani Abasiyyah
dengan didominasi oleh orang miskin ini bertujuan agar kaum minoritas yang
miskin tersebut dapat merasakan pendidikan seperti yang lainnya,jadi
tpendidikan itu tidak hanya terkhusus untuk orang kaya semata.
i)
Kuttab/maktub
Berasal
dari bahasa yang sama yakni kataba yang berarti menulis. Sedangkan
kuttab/maktabberarti tempat untuk menulis /tempat dilangsungkannya kegiatan
tulis menulis. Kuttab pada awal perkembangannya adalah lembaga pendidikan yang
tertutup,namun setelah adanya persentuhan dari peradaban helenisme maka menjadi
lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum bahkan filsafat.
Dari
uraian diatas maka penyusun dapat menyimpulkan :lembaga ini merupakan lembaga
pendidikan Al-qur’an yang bukan hanya menafsirkan Al-qur’an secara kontekstual
saja namun lebih cenderung menganggap Al-qur’an itu buku yang dimana banyak
ilmu yang bisa digali dari kandungan Al-qur’an yang masih tersimpan.
j)
Khan
Difungsikan
sebagai tempat penyimpanan barang-barangdalam jumlah besar atau sebagai sarana
komersial yang memiliki banyak toko ,seperti khan an-narsi yang berlokasi di
alun-alun karkh di baghdad.
k) Rumah sakit
Rumah
sakit pada zaman klasik bukan hanya tempat untukmerawat dan mengobati
orang-orang sakittetapi juga mendidik orang-orang yang berhubungan dengan
perawatan dan pengobatan. Pada waktu itu percobaan dalam bidang kedokteran dan
obat-obatan dilaksanakan sehinnga ilmu pengetahuan tersebut sangat pesat.tempat
tersebut juga digunakan sebagai tempat praktikum sekolah kedokteran yang didirikan
diluar rumah sakit dan juga sebagai tempat pendidikan.
Dari
uraian diatas maka penyusun dapat menyimpulkan:pada zaman Bani Abasiyyah
sebagian besar sarana dan prasarana umum yang ada menjadi multi fungsi, yang mana tempat
tersebut selain menjalankan fungsi aslinya juga menjalankan fungsi pendidikan
yang bersangkutan dengan fungsi sarana dan prasarana umum tersebut.
l)
Badiah
Badiah
menjadi pusat dalam pelajaran bahasa arab murni dan asli, sehingga banyak
khalifah dan ilmuwan-ilmuwan datang ke badiah untuk mempelajari b.Arab dan
kesusastraan Arab.[13]
Dari uraian diatas maka penyusun
menyimpulkan:badiah merupakan padang pasir yang ada di arab dimana penduduknya
adalah suku asli arab yang masih menggunakan b.Arab dengan murni serta faham
betul akan kesussastraan arab sehinnga hal itulah yang dimanfaatkan oleh para
ulama yang inin lebih memperdala,m b.arab mereka dan hal ini terbukti
efektif dalam meningkatkan bahasa Arab
dan memperkenalkannya pada dunia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Pada masa bani Abbasyiyah, pendidikan islam sangat berkembang pesat
terutama pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Pada masa pemerintahannya,
banyak bermunculan pemikiran-pemikiran baru yang berhubungan dengan ilmu agama
dan ilmu umum. Dan juga bermunculah tokoh-tokoh pendidikan islam yang sangat
berpengaruh dalam mengembangkan pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Metode mengajar yang dilakukan
pada masa itu yaitu metode halaqah. Metode tersebut dikatakan sebagai proses
belajar yang kolektif, efektif dan efisien. Dan materi yang diajarakan pada
masa itu juga sangat komplek/menyeluruh, yang tidak pernah dijumpai pada Negara
islam yang lain.
Pada masa pemerintaha Ar-Rasyid banyak dibangun lembaga-lembaga pendidikan
seperti Suffah, kuttab/maktab, halaqoh, majlis, masjid, khan, ribbat, rumah –
ulama, rumah sakit, toko buku – perpustakaan, dan badiah.
REFERENSI
Amin, Samsul
Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta : Amzah.
Mufrodi, Ali.
1997. Islam di Kawasan Arab. Jakarta
: Logos Wacana Ilmu.
Nizar, Samsul.
2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Nata, Abudin.
2005. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta
: Kencana Perdana Media Group.
Supriyadi, Dedi.
2008. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung
: Pustaka Setia.
Wahid, Abbas dan
Suratno. 2008. Khazanah Sejarah
Kebudayaan Islam. Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Tim
Kelas D. 2012. Sejarah Pendidikan Islam. Surabaya
: Prima Al-Hidayah.
Hafihuddin, Didi. 2006. Agar Layar Tetap Berkembang. Jakarta : Gema Insani Press.
Suwito.2006. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana.
Syam, Ahmad. 1986. Daulah Al-Islamiyah fi Al-‘Asry Al-Awal. Maktabah Al Jalu Al
Misriyah.
[2] Bojena Gajane
Stryzeswska, Tarikh al Daulat al Islamiyah, (Beirut : al Maktab al
Tijari , Tanpa tahun)h.360
[4] Ahmad Syam, Daulah Al-Islamiyah fi Al-‘Asry Al-Aabasy Al-Awal,(
Maktabah Al Jalu Al Misriyah, 1986)
[6] Abbas Wahid dan Suratno. Khazanah
Sejarah Kebudayaan Islam. ( Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri ). h.
49
[7] Ibid., h. 50
[8] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag. Sejarah
Pendidikan Islam. ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2009 ). h. 68
[9]Abbas Wahid dan Suratno. Khazanah
Sejarah Kebudayaan Islam. ( Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri ). h.
51
[12] Abuddin Nata,Sejarah pendidikan
Islam,(Jakarta:Kencana Media Group),2011,H.151-162.
[13]Kelas D Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya,Sejarah pendidikan Islam,(Surabaya,Prima
Al-Hidayah),2012,H.34-38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar